Anda bisa menggunakan limbah udang........
Sebelumnya gagasan ini sudah pernah aku ajukan dalam pekan karya ilmiah mahasiswa........
Konsep perlindungan bangunan bahwa perencanaan dalam mendirikan
suatu bangunan harus dapat bertahan dan berfungsi sebagaimana mestinya dalam
jangka waktu yang relatif lama. Usaha dalam mempertahankan bangunan untuk dapat
bertahan lama dan dapat berfungsi sebagaimana mestinya membutuhkan biaya yang
tidak sedikit. Faktor-faktor penyebab kerusakan bangunan perlu diketahui
sebelum melakukan usaha proteksi bangunan maupun usaha dalam rangka membasmi
faktor perusak tersebut. Salah satu langkah yang diambil adalah
mengidentifikasi rayap. Dengan diidentifikasi, maka akan dengan mudah perlakuan
pembasmian dan proteksi akan lebih mudah dan efektif disesuaikan dengan jenis
rayap. Rayap merupakan serangga kecil berwarna putih pemakan selulosa yang
sangat berbahaya bagi bangunan yang di bangun dengan bahan-bahan yang
mengandung selulosa seperti kayu dan produk turunan kayu (papan partikel, papan
serat, polywood, blockboard, dan laminated board).
Rayap adalah serangga yang hidup dalam Koloni. Besarnya Koloni
tergantung pada kondisi lingkungan dan jenisnya. Jumlah Koloni dapat mencapai
ratusan juta individu. Dalam setiap Koloni mempunyai satu pasangan reproduktif
yaitu ratu dan raja. Ratu rayap dapat hidup sampai umur 30 tahun dan memiliki
kemampuan untuk mengahasilkan telur jutaan setiap tahunnya.
Menurut Nandika (2003), beberapa faktor pendukung perkembangan rayap
meliputi:
1. Tipe tanah
Tanah bagi rayap berguna sebagai tempat hidup dan dapat mengisolasi
rayap dari suhu serta kelembaban yang sangat ekstrim. Rayap hidup pada tipe
tanah tertentu, namun secara umum rayap tanah lebih menyukai tipe tanah yang
banyak mengandung liat. Serangga ini tidak menyukai tanah berpasir karena tipe
tanah ini memiliki kandungan bahan organik yang rendah. Hanya beberapa jenis
rayap yang hidup di daerah padang pasir diantaranya adalah Amitermes dan
Psammotermes. Rayap lainnya seperti Trinervitermes hidup pada
tanah pasir yang terbuka dan memiliki sifat semi kering dan basah. Pada areal
berpasir, rayap dapat meningkatkan infiltrasi air dan mengembalikannya ke
bagian atas tanah.
2. Tipe vegetasi
Sarang rayap Anoplotermes paciticus yang terdapat di dalam tanah
dapat dilubangi oleh akar-akar tanaman. Akar-akar tanaman tersebut dimakan oleh
rayap, tetapi tidak menyebabkan tanaman tersebut mati karena sebagian besar
akar yang tidak dimakan oleh rayap dapat menyerap bahan-bahan organik yang
terdapat didalam sarang rayap. Hal ini menunjukkan adanya interaksi antara
rayap dan tumbuhan yang sama-sama menggunakan tanah sebagai tempat hidupnya.
3. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan populasi rayap
meliputi curah hujan, suhu, kelembaban, ketersediaan makanan, dan musuh alami.
Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama
lain. Kelembaban dan suhu merupakan faktor yang secara bersama-sama
mempengaruhi aktivitas rayap. Perubahan kondisi lingkungan menyebabkan
perubahan perkembangan, aktivitas dan perilaku rayap.
4. Curah hujan
Curah hujan
merupakan pemicu perkembangan eksternal dan berguna untuk merangsang keluarnya
kasta reproduksi dari sarang. Laron tidak keluar jika curah hujan rendah. Curah
hujan yang terlalu tinggi juga dapat menurunkan aktivitas rayap. Curah hujan
umumnya memberikan pengaruh fisik secara langsung pada kehidupan koloni rayap,
khususnya yang membangun sarang didalam atau dipermukaan tanah. Namun, pada
koloni Neotermes tectonae pengaruh curah hujan secara langsung sedikit,
mengingat rayap ini bersarang didalam kayu yang melindunginya dari terpaan
curah hujan. Curah hujan memberikan pengaruh tidak langsung melalui perubahan
kelembaban dan kadar air kayu.
5. Kelembaban
Perubahan kelembaban sangat mempengaruhi aktivitas jelajah rayap.
Pada kelembaban yang rendah, rayap bergerak menuju daerah dengan suhu yang
lebih rendah. Namun demikian, rayap memiliki kemampuan untuk menjaga kelembaban
didalam liang-liang kembaranya sehingga tetap memungkinkan rayap bergerak
kedaerah yang lebih kering. Jika permukaan air tanahrendah, serangga ini hanya
sedikit dipengaruhi oleh perubahan iklim termasuk kelembaban. Rayap tanah
seperti Coptotermes, Macrotermes dan Odontotermes memerlukan
kelembaban yang tinggi. Perkembangan optimumnya dicapai pada kisaran kelembaban
75-90%. Sebaliknya pada rayap kayu kering Cryptotermes tidak memerlukan
air atau kelembaban yang tinggi.
6. Suhu
Suhu merupakan faktor penting yang mempengaruhi kehidupan serangga,
baik terhadap perkembangan maupun aktivitasnya. Pengaruh suhu terhadap serangga
terbagi menjadi beberapa kisaran. Pertama, suhu maksimum dan minimum
yaitu kisaran suhu terendah atau tertinggi yang dapat menyebabkan kematian pada
serangga; kedua adalah suhu estivasi atau hibernasi yaitu kisaran suhu
diatas atau dibawah suhu optimum yang dapat mengakibatkan serangga mengurangi
aktivitasnya atau dorman; dan ketiga adalah kisaran suhu optimum. Pada
sebagian besar serangga kisaran suhu optimumnya adalah 15-380C.
Rayap yang berbeda genera atau berbeda jenis dari genera yang sama
dapat memiliki toleransi suhu yang berbeda. Rayap Coptotermes formosanus memiliki
toleransi suhu yang lebuh tinggi dibandingkan rayap Reticulitermes flavipes.
Berdasarkan sebaran rayap
Koloni rayap terdiri atas beberapa kasta, yaitu rayap pekerja dan
rayap tentara. Rayap pekerja bertugas untuk mengumpulkan makanan bagi koloninya
dan merupakan jumlah yang terbesar dalam suatu Koloni. Kerusakan yang
ditimbulkan pada bagunan disebabkan rayap pekerja. Rayap tentara bertugas untuk
mengamankan koloni dari serangan musuh yaitu semut. Untuk menjalankan tugas
tentara rayap dilengkapi dengan sepasang capit yang kuat di bagian kepalanya.
Dalam kondisi lingkungan yang alami rayap adalah serangga yang berguna untuk
pengurai bahan organic seperti selulosa yang dibutuhkan oleh lingkungan yang
berguna dan dibutuhkan oleh tumbuhan dan tanaman untuk sebagai pertumbuhan.
Negara Indonesia yang merupakan Negara tropis adalah tempat yang sangat aman
dan ideal untuk perkembangan rayap. Dalam lingkungan perkotaan rayap merupakan
salah satu yang menimbulkan masalah besar terhadap lingkungan terutama bangunan
yang terbuata dari bahan kayu karena dapat merusakak dan meyerang struktur
bangunan. Rayap dapat menimbulakan kerugian: kerugian ekonomi,
merusak struktur kayu, merusak semua yang mengandung selulosa, merusak semua
yang mengahalangi. Menurut letaknya ada beberapa jenis rayap yaitu drywood
termite ( kayu kering), dampwood termite ( kayu basah), subterranea termite (
rayap tanah)
Menurut (Brasto,
2010), rayap
merupakan hama perusak yang menjadi musuh utama bangunan, tidak terkecuali
bangunan gedung. Demi keselamatan gedung, pemerintah bahkan telah memberlakukan
UU No28/2002 tentang bangunan gedung.
pada pasal 18 ayat 1 dinyatakan bahwa setiap bangunan harus tahan terhadap kerusakan
yang diakibatkan gangguan alam, seperti gempa bumi, longsor, dan serangga
perusak. Undang-undang itu ditetapkan berdasarkan pengalaman. Dari data
kerugian ekonomis, hingga akhir tahun 2000, rayap mengakibatkan kerugian hingga
Rp2,67 triliun, dengan rata-rata persentase serangan pada bangunan mencapai
angka 70 persen lebih. Setiap tahun meningkat sekitar 5 persen. Rayap merusak bangunan tanpa mempedulikan
kepentingan manusia. Rayap mampu merusak bangunan gedung, bahkan juga menyerang
dan merusak mebeler di dalamnya, buku-buku, kabel listrik dan telepon, serta
barang-barang yang disimpan. Rayap untuk mencapai sasaran dapat menembus tembok
yang tebalnya beberapa senti meter (cm), menghancurkan plastik, kabel
penghalang fisik lainnya. Apapun bentuk konstruksi bangunan gedung (slab,
basement, atau cawal space) rayap dapat menembus lubang terbuka
atau celah pada slab, disekitar celah kayu atau pipa ledeng, celah antara
pondasi dan tembok maupun pada atap kuda-kuda.
Survei penyebaran jenis rayap di kota-kota
besar seperti Jakarta dan kota besar lainnya ditemukan jenis rayap tidak kurang
dari 8 sampai 15 jenis rayap. Berdasarkan fenomena tersebut, maka perlu diperlakukan usaha untuk mengendalikan
serangan rayap
perusak bangunan kayu, maka
penulis mencoba menyusun gagasan tertulis mengenai cara efektif untuk mengendalikan serangan rayap perusak bangunan kayu,dengan menggunakan bahan alami adalah chitosan dari
limbah cangkang udang (Hargono, 2008). Limbah udang
adalah salah satu limbah yang jumlahnya cukup banyak di Indonesia. Tiap daerah
pesisir yang memanen udang untuk dikonsumsi sebagai bahan makanan bisa
menghasilkan berton-ton limbah. Limbah itu biasanya dibuang begitu saja atau
kalau pun diekspor dengan harga sangat murah. Padahal, limbah yang terbuang ke
perairan bisa merugikan lingkungan.
Limbah udang jika dibuang akan merugikan. Limbah itu akan
meningkatkan biological oxygen demand di perairan karena proses
penguraiannya sehingga organisme yang ada di perairan itu bisa kekurangan
oksigen di waktu tertentu. Selain itu, jika ada penguraian limbah dalam skala
besar, hal itu akan berpengaruh pada iklim skala global. Sudah menjadi
pemandangan yang jamak, di sentra-sentra produksi udang maka cangkang itu
dibuang begitu saja. Sering kali limbah-limbah itu bermasalah. Ujung-ujungnya,
diperlukan biaya tinggi untuk mengelolanya. Namun, dengan sentuhan teknologi,
malah limbah tersebut mampu mendatangkan keuntungan tinggi. Sayangnya, di
Indonesia upaya menjadikan limbah menjadi produk bernilai ekonomi tinggi masih
jauh dari yang diharapkan. Dengan kata lain, industri semacam itu masih sangat
langka. Padahal, di negara maju, mendaur ulang semacam ini sudah lazim
dilakukan. Mengingat nilai ekonomi limbah udang hampir tidak ada, maka
pemanfaatan limbah udang akan merupakan suatu pemanfaatan teknologi baru, di
samping turut mensukseskan program pengembangan produk hasil perikanan serta
berorientasi pada perluasan penyediaan lapangan kerja baru bagi masyarakat
pesisir khususnya dan perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat secara umum di
Indonesia.
Limbah Cangkang Udang sebagai Bahan Anti Rayap Ramah Lingkungan
Salah satu bahan alami yang dapat digunakan
untuk mengendalikan serangan rayap perusak adalah chitosan. Chitosan dapat
dibuat dari senyawa chitin yang banyak terkandung di cangkang binatang,
diantaranya pada cangkang udang atau hewan laut lainnya. Udang merupakan salah
satu andalan komoditi perikanan Indonesia yang diekspor ke luar negeri dalam
bentuk tanpa kepala atau tanpa kepala dan kulit (dikupas). Limbah yang berasal
dari pembekuan udang bervariasi tapi umumnya berkisar 30-75% dari berat udang
tergantung bentuk olahannya, dengan komposisi 27,6% mineral, 34,9% protein, dan
18,1% chitin. Chitosan merupakan jenis polisakarida yang bersifat mudah
terdegradasi secara alami atau secara biologis. Chitosan tidak beracun bagi
manusia, tetapi beracun untuk rayap dan jamur tertentu serta molekulnya stabil (Bachtiar, 2009). Oleh karena itu perlu diupayakan untuk mengolah limbah
cangkang udang dapat digunakan untuk mengatasi serangan rayap, dengan
keekonomisannya, keefektifan dan keramahan terhadap lingkungan.
Limbah kulit udang selama ini, hanya dimanfaatkan sebagai tepung dan campuran
pakan ternak, tetapi pemanfaatan ini belum dapat mengatasi limbah kulit udang
secara maksimal. Dengan melihat komposisi dalam cangkang kulit udang diatas,
maka limbah kulit udang dapat dimanfaatkan menjadi produk yang mempunyai nilai
ekonomis yang lebih tinggi, salah satunya dengan chitosan. Di luar negeri, teknologi pengolahan limbah cangkang udang ini sudah
sangat maju sehingga mereka mampu menghasilkan produk khitosan dengan berbagai
variasi dan kegunaan. Proses mengubah limbah kulit udang dan cangkang kepiting
menjadi khitin dan khitosan. Produk bernilai ekonomi tinggi itu bisa
dimanfaatkan sebagai obat antikolesterol, obat pelangsing tubuh, perban
penghenti perdarahan, dan bahan kaus yang mampu menyerap keringat. kain perban
penghenti perdarahan yang dibuat dari kulit udang, kulit lobster, dan cangkang
kepiting. Penggunaannya sudah teruji baik untuk keperluan militer maupun sipil.
Data Direktorat Jenderal Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan
menunjukkan bahwa, tahun 2001, potensi udang nasional mencapai 633.681 ton. Tahun
2004 potensi udang diperkirakan sebesar 785.025 ton. Tahun 2006 seluas 480.850
ha dan 281.901 ton. Tahun 2007 seluas 581.825 ha dan 318.565 ton, tahun 2008
seluas 704.013 ha dengan produksi 362.935 ton atau 510 kg per ha, serta tahun
2009 luas areal budidaya udang mencapai 851.852 ha serta volume produksi yang
ditargetkan sebanyak 416.616 ton. Dari proses pembekuan udang untuk ekspor,
60-70 persen dari berat udang menjadi limbah (bagian kulit dan kepala) sehingga
diperkirakan akan dihasilkan limbah udang sebesar 510.266 ton.
Limbah sebanyak itu, jika tidak ditangani secara tepat, akan
menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan, karena selama ini pemanfaatan limbah cangkang udang hanya terbatas
untuk pakan ternak saja seperti itik, bahkan sering dibiarkan membusuk
(Hargono, 2008).
a.
Adapun garis besar prosedur
pembuatan limbah cangkang udang yang mengandung zat khitin sekitar 99,1 persen.
Jika diproses lebih lanjut dengan melalui beberapa tahap, akan dihasilkan
khitosan, yaitu:
1). Dimineralisasi:
-
Mencuci limbah cangkang udang
dengan air mengalir,
-
Mengeringkan di bawah sinar
Matahari sampai kering, lalu digiling sampai menjadi serbuk ukuran 40-60 mesh.
-
Mencampur asam klorida 1,25 N
dengan perbandingan 10:1 untuk pelarut dibanding kulit udang, lalu dipanaskan
pada suhu 90°C selama satu jam. Residu berupa padatan dicuci dengan air sampai
pH netral
-
Mengeringkan dalam oven pada
suhu 80°C selama 24 jam.
2). Deproteinisasi:
-
Limbah udang yang telah
dimineralisasi kemudian mencampurkan dengan Larutan sodium hidroksida 3,5
persen dengan perbandingan antara pelarut dan cangkang udang 6:1.
-
Memanaskan pada suhu 90°C
selama satu jam.
-
Menyaring larutan dan
didinginkan sehingga diperoleh residu padatan
-
Mencuci dengan air sampai pH
netral
-
Mengeringkan pada suhu 80°C
selama 24 jam.
3). Deasetilisasi khitin menjadi khitosan:
-
Khitosan dibuat dengan
menambahkan sodium hidroksida (60 persen) dengan perbandingan 20:1 (pelarut
dibanding khitin),
-
Memanaskan selama 90 menit
dengan suhu 140°C.
-
Menyaring larutan untuk
mendapatkan residu berupa padatan,
-
Mencuci dengan air sampai pH
netral,
-
Mengeringkan dengan oven suhu
70°C selama 24 jam atau dijemur sampai kering
-
Bentuk akhir dari khitosan bisa
berbentuk serbuk maupun serpihan (Arikunto, 2002).
1 comment:
ini Caranya ngolahnya bagaimana ya mbak, agar bisa dibuat termitisidanya?makasih...................
Post a Comment