Translate

Tuesday, January 8, 2013

MANFAAT LIMBAH UDANG

Nih ada solusi baru bagi Anda yang ingin membasmi rayap, tetapi dengan menggunakan bahan alami yang ramah lingkungan...........
Anda bisa menggunakan limbah udang........
Sebelumnya gagasan ini sudah pernah aku ajukan dalam pekan karya ilmiah mahasiswa........



Konsep perlindungan bangunan bahwa perencanaan dalam mendirikan suatu bangunan harus dapat bertahan dan berfungsi sebagaimana mestinya dalam jangka waktu yang relatif lama. Usaha dalam mempertahankan bangunan untuk dapat bertahan lama dan dapat berfungsi sebagaimana mestinya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Faktor-faktor penyebab kerusakan bangunan perlu diketahui sebelum melakukan usaha proteksi bangunan maupun usaha dalam rangka membasmi faktor perusak tersebut. Salah satu langkah yang diambil adalah mengidentifikasi rayap. Dengan diidentifikasi, maka akan dengan mudah perlakuan pembasmian dan proteksi akan lebih mudah dan efektif disesuaikan dengan jenis rayap. Rayap merupakan serangga kecil berwarna putih pemakan selulosa yang sangat berbahaya bagi bangunan yang di bangun dengan bahan-bahan yang mengandung selulosa seperti kayu dan produk turunan kayu (papan partikel, papan serat, polywood, blockboard, dan laminated board).
Rayap adalah serangga yang hidup dalam Koloni. Besarnya Koloni tergantung pada kondisi lingkungan dan jenisnya. Jumlah Koloni dapat mencapai ratusan juta individu. Dalam setiap Koloni mempunyai satu pasangan reproduktif yaitu ratu dan raja. Ratu rayap dapat hidup sampai umur 30 tahun dan memiliki kemampuan untuk mengahasilkan telur jutaan setiap tahunnya.
Menurut Nandika (2003), beberapa faktor pendukung perkembangan rayap meliputi:
1.      Tipe tanah
Tanah bagi rayap berguna sebagai tempat hidup dan dapat mengisolasi rayap dari suhu serta kelembaban yang sangat ekstrim. Rayap hidup pada tipe tanah tertentu, namun secara umum rayap tanah lebih menyukai tipe tanah yang banyak mengandung liat. Serangga ini tidak menyukai tanah berpasir karena tipe tanah ini memiliki kandungan bahan organik yang rendah. Hanya beberapa jenis rayap yang hidup di daerah padang pasir diantaranya adalah Amitermes dan Psammotermes. Rayap lainnya seperti Trinervitermes hidup pada tanah pasir yang terbuka dan memiliki sifat semi kering dan basah. Pada areal berpasir, rayap dapat meningkatkan infiltrasi air dan mengembalikannya ke bagian atas tanah.


2.      Tipe vegetasi
Sarang rayap Anoplotermes paciticus yang terdapat di dalam tanah dapat dilubangi oleh akar-akar tanaman. Akar-akar tanaman tersebut dimakan oleh rayap, tetapi tidak menyebabkan tanaman tersebut mati karena sebagian besar akar yang tidak dimakan oleh rayap dapat menyerap bahan-bahan organik yang terdapat didalam sarang rayap. Hal ini menunjukkan adanya interaksi antara rayap dan tumbuhan yang sama-sama menggunakan tanah sebagai tempat hidupnya.
3.      Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan populasi rayap meliputi curah hujan, suhu, kelembaban, ketersediaan makanan, dan musuh alami. Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lain. Kelembaban dan suhu merupakan faktor yang secara bersama-sama mempengaruhi aktivitas rayap. Perubahan kondisi lingkungan menyebabkan perubahan perkembangan, aktivitas dan perilaku rayap.
4.      Curah hujan
Curah hujan merupakan pemicu perkembangan eksternal dan berguna untuk merangsang keluarnya kasta reproduksi dari sarang. Laron tidak keluar jika curah hujan rendah. Curah hujan yang terlalu tinggi juga dapat menurunkan aktivitas rayap. Curah hujan umumnya memberikan pengaruh fisik secara langsung pada kehidupan koloni rayap, khususnya yang membangun sarang didalam atau dipermukaan tanah. Namun, pada koloni Neotermes tectonae pengaruh curah hujan secara langsung sedikit, mengingat rayap ini bersarang didalam kayu yang melindunginya dari terpaan curah hujan. Curah hujan memberikan pengaruh tidak langsung melalui perubahan kelembaban dan kadar air kayu.
5.      Kelembaban
Perubahan kelembaban sangat mempengaruhi aktivitas jelajah rayap. Pada kelembaban yang rendah, rayap bergerak menuju daerah dengan suhu yang lebih rendah. Namun demikian, rayap memiliki kemampuan untuk menjaga kelembaban didalam liang-liang kembaranya sehingga tetap memungkinkan rayap bergerak kedaerah yang lebih kering. Jika permukaan air tanahrendah, serangga ini hanya sedikit dipengaruhi oleh perubahan iklim termasuk kelembaban. Rayap tanah seperti Coptotermes, Macrotermes dan Odontotermes memerlukan kelembaban yang tinggi. Perkembangan optimumnya dicapai pada kisaran kelembaban 75-90%. Sebaliknya pada rayap kayu kering Cryptotermes tidak memerlukan air atau kelembaban yang tinggi.
6.      Suhu
Suhu merupakan faktor penting yang mempengaruhi kehidupan serangga, baik terhadap perkembangan maupun aktivitasnya. Pengaruh suhu terhadap serangga terbagi menjadi beberapa kisaran. Pertama, suhu maksimum dan minimum yaitu kisaran suhu terendah atau tertinggi yang dapat menyebabkan kematian pada serangga; kedua adalah suhu estivasi atau hibernasi yaitu kisaran suhu diatas atau dibawah suhu optimum yang dapat mengakibatkan serangga mengurangi aktivitasnya atau dorman; dan ketiga adalah kisaran suhu optimum. Pada sebagian besar serangga kisaran suhu optimumnya adalah 15-380C.
Rayap yang berbeda genera atau berbeda jenis dari genera yang sama dapat memiliki toleransi suhu yang berbeda. Rayap Coptotermes formosanus memiliki toleransi suhu yang lebuh tinggi dibandingkan rayap Reticulitermes flavipes. Berdasarkan sebaran rayap
Koloni rayap terdiri atas beberapa kasta, yaitu rayap pekerja dan rayap tentara. Rayap pekerja bertugas untuk mengumpulkan makanan bagi koloninya dan merupakan jumlah yang terbesar dalam suatu Koloni. Kerusakan yang ditimbulkan pada bagunan disebabkan rayap pekerja. Rayap tentara bertugas untuk mengamankan koloni dari serangan musuh yaitu semut. Untuk menjalankan tugas tentara rayap dilengkapi dengan sepasang capit yang kuat di bagian kepalanya. Dalam kondisi lingkungan yang alami rayap adalah serangga yang berguna untuk pengurai bahan organic seperti selulosa yang dibutuhkan oleh lingkungan yang berguna dan dibutuhkan oleh tumbuhan dan tanaman untuk sebagai pertumbuhan. Negara Indonesia yang merupakan Negara tropis adalah tempat yang sangat aman dan ideal untuk perkembangan rayap. Dalam lingkungan perkotaan rayap merupakan salah satu yang menimbulkan masalah besar terhadap lingkungan terutama bangunan yang terbuata dari bahan kayu karena dapat merusakak dan meyerang struktur bangunan. Rayap dapat menimbulakan kerugian: kerugian ekonomi, merusak struktur kayu, merusak semua yang mengandung selulosa, merusak semua yang mengahalangi. Menurut letaknya ada beberapa jenis rayap yaitu drywood termite ( kayu kering), dampwood termite ( kayu basah), subterranea termite ( rayap tanah)
Menurut (Brasto, 2010), rayap merupakan hama perusak yang menjadi musuh utama bangunan, tidak terkecuali bangunan gedung. Demi keselamatan gedung, pemerintah bahkan telah memberlakukan UU No28/2002 tentang bangunan gedung. pada pasal 18 ayat 1 dinyatakan bahwa setiap bangunan harus tahan terhadap kerusakan yang diakibatkan gangguan alam, seperti gempa bumi, longsor, dan serangga perusak. Undang-undang itu ditetapkan berdasarkan pengalaman. Dari data kerugian ekonomis, hingga akhir tahun 2000, rayap mengakibatkan kerugian hingga Rp2,67 triliun, dengan rata-rata persentase serangan pada bangunan mencapai angka 70 persen lebih. Setiap tahun meningkat sekitar 5 persen. Rayap merusak bangunan tanpa mempedulikan kepentingan manusia. Rayap mampu merusak bangunan gedung, bahkan juga menyerang dan merusak mebeler di dalamnya, buku-buku, kabel listrik dan telepon, serta barang-barang yang disimpan. Rayap untuk mencapai sasaran dapat menembus tembok yang tebalnya beberapa senti meter (cm), menghancurkan plastik, kabel penghalang fisik lainnya. Apapun bentuk konstruksi bangunan gedung (slab, basement, atau cawal space) rayap dapat menembus lubang terbuka atau celah pada slab, disekitar celah kayu atau pipa ledeng, celah antara pondasi dan tembok maupun pada atap kuda-kuda.
Survei penyebaran jenis rayap di kota-kota besar seperti Jakarta dan kota besar lainnya ditemukan jenis rayap tidak kurang dari 8 sampai 15 jenis rayap. Berdasarkan fenomena tersebut, maka perlu diperlakukan usaha untuk mengendalikan serangan rayap perusak bangunan kayu, maka penulis mencoba menyusun gagasan tertulis mengenai cara efektif  untuk mengendalikan serangan rayap perusak bangunan kayu,dengan menggunakan bahan alami adalah chitosan dari limbah cangkang udang (Hargono, 2008). Limbah udang adalah salah satu limbah yang jumlahnya cukup banyak di Indonesia. Tiap daerah pesisir yang memanen udang untuk dikonsumsi sebagai bahan makanan bisa menghasilkan berton-ton limbah. Limbah itu biasanya dibuang begitu saja atau kalau pun diekspor dengan harga sangat murah. Padahal, limbah yang terbuang ke perairan bisa merugikan lingkungan.
Limbah udang jika dibuang akan merugikan. Limbah itu akan meningkatkan biological oxygen demand di perairan karena proses penguraiannya sehingga organisme yang ada di perairan itu bisa kekurangan oksigen di waktu tertentu. Selain itu, jika ada penguraian limbah dalam skala besar, hal itu akan berpengaruh pada iklim skala global. Sudah menjadi pemandangan yang jamak, di sentra-sentra produksi udang maka cangkang itu dibuang begitu saja. Sering kali limbah-limbah itu bermasalah. Ujung-ujungnya, diperlukan biaya tinggi untuk mengelolanya. Namun, dengan sentuhan teknologi, malah limbah tersebut mampu mendatangkan keuntungan tinggi. Sayangnya, di Indonesia upaya menjadikan limbah menjadi produk bernilai ekonomi tinggi masih jauh dari yang diharapkan. Dengan kata lain, industri semacam itu masih sangat langka. Padahal, di negara maju, mendaur ulang semacam ini sudah lazim dilakukan. Mengingat nilai ekonomi limbah udang hampir tidak ada, maka pemanfaatan limbah udang akan merupakan suatu pemanfaatan teknologi baru, di samping turut mensukseskan program pengembangan produk hasil perikanan serta berorientasi pada perluasan penyediaan lapangan kerja baru bagi masyarakat pesisir khususnya dan perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat secara umum di Indonesia.
Limbah Cangkang Udang sebagai Bahan Anti Rayap Ramah Lingkungan
Salah satu bahan alami yang dapat digunakan untuk mengendalikan serangan rayap perusak adalah chitosan. Chitosan dapat dibuat dari senyawa chitin yang banyak terkandung di cangkang binatang, diantaranya pada cangkang udang atau hewan laut lainnya. Udang merupakan salah satu andalan komoditi perikanan Indonesia yang diekspor ke luar negeri dalam bentuk tanpa kepala atau tanpa kepala dan kulit (dikupas). Limbah yang berasal dari pembekuan udang bervariasi tapi umumnya berkisar 30-75% dari berat udang tergantung bentuk olahannya, dengan komposisi 27,6% mineral, 34,9% protein, dan 18,1% chitin. Chitosan merupakan jenis polisakarida yang bersifat mudah terdegradasi secara alami atau secara biologis. Chitosan tidak beracun bagi manusia, tetapi beracun untuk rayap dan jamur tertentu serta molekulnya stabil (Bachtiar, 2009). Oleh karena itu perlu diupayakan untuk mengolah limbah cangkang udang dapat digunakan untuk mengatasi serangan rayap, dengan keekonomisannya, keefektifan dan keramahan terhadap lingkungan.
Limbah kulit udang selama ini,  hanya dimanfaatkan sebagai tepung dan campuran pakan ternak, tetapi pemanfaatan ini belum dapat mengatasi limbah kulit udang secara maksimal. Dengan melihat komposisi dalam cangkang kulit udang diatas, maka limbah kulit udang dapat dimanfaatkan menjadi produk yang mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi, salah satunya dengan chitosan. Di luar negeri, teknologi pengolahan limbah cangkang udang ini sudah sangat maju sehingga mereka mampu menghasilkan produk khitosan dengan berbagai variasi dan kegunaan. Proses mengubah limbah kulit udang dan cangkang kepiting menjadi khitin dan khitosan. Produk bernilai ekonomi tinggi itu bisa dimanfaatkan sebagai obat antikolesterol, obat pelangsing tubuh, perban penghenti perdarahan, dan bahan kaus yang mampu menyerap keringat. kain perban penghenti perdarahan yang dibuat dari kulit udang, kulit lobster, dan cangkang kepiting. Penggunaannya sudah teruji baik untuk keperluan militer maupun sipil.
Data Direktorat Jenderal Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa, tahun 2001, potensi udang nasional mencapai 633.681 ton. Tahun 2004 potensi udang diperkirakan sebesar 785.025 ton. Tahun 2006 seluas 480.850 ha dan 281.901 ton. Tahun 2007 seluas 581.825 ha dan 318.565 ton, tahun 2008 seluas 704.013 ha dengan produksi 362.935 ton atau 510 kg per ha, serta tahun 2009 luas areal budidaya udang mencapai 851.852 ha serta volume produksi yang ditargetkan sebanyak 416.616 ton. Dari proses pembekuan udang untuk ekspor, 60-70 persen dari berat udang menjadi limbah (bagian kulit dan kepala) sehingga diperkirakan akan dihasilkan limbah udang sebesar 510.266 ton.
Limbah sebanyak itu, jika tidak ditangani secara tepat, akan menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan, karena selama ini pemanfaatan limbah cangkang udang hanya terbatas untuk pakan ternak saja seperti itik, bahkan sering dibiarkan membusuk (Hargono, 2008).
a.                  Adapun garis besar prosedur pembuatan limbah cangkang udang yang mengandung zat khitin sekitar 99,1 persen. Jika diproses lebih lanjut dengan melalui beberapa tahap, akan dihasilkan khitosan, yaitu:
1). Dimineralisasi:
-          Mencuci limbah cangkang udang dengan air mengalir,
-          Mengeringkan di bawah sinar Matahari sampai kering, lalu digiling sampai menjadi serbuk ukuran 40-60 mesh.
-          Mencampur asam klorida 1,25 N dengan perbandingan 10:1 untuk pelarut dibanding kulit udang, lalu dipanaskan pada suhu 90°C selama satu jam. Residu berupa padatan dicuci dengan air sampai pH netral
-          Mengeringkan dalam oven pada suhu 80°C selama 24 jam.
2). Deproteinisasi:
-          Limbah udang yang telah dimineralisasi kemudian mencampurkan dengan Larutan sodium hidroksida 3,5 persen dengan perbandingan antara pelarut dan cangkang udang 6:1.
-          Memanaskan pada suhu 90°C selama satu jam.
-          Menyaring larutan dan didinginkan sehingga diperoleh residu padatan
-          Mencuci dengan air sampai pH netral
-          Mengeringkan pada suhu 80°C selama 24 jam.
3). Deasetilisasi khitin menjadi khitosan:
-          Khitosan dibuat dengan menambahkan sodium hidroksida (60 persen) dengan perbandingan 20:1 (pelarut dibanding khitin),
-          Memanaskan selama 90 menit dengan suhu 140°C.
-          Menyaring larutan untuk mendapatkan residu berupa padatan,
-          Mencuci dengan air sampai pH netral,
-          Mengeringkan dengan oven suhu 70°C selama 24 jam atau dijemur sampai kering
-          Bentuk akhir dari khitosan bisa berbentuk serbuk maupun serpihan (Arikunto, 2002).


1 comment:

alfainas. said...

ini Caranya ngolahnya bagaimana ya mbak, agar bisa dibuat termitisidanya?makasih...................